“KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI
PENDIDIKAN
DALAM NOVEL ‘MATAHARI DIATAS GILI’
KARYA LINTANG SUGIANTO”
Oleh
MUH. JAELANI AL-PANSORI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karya
sastra adalah sebuah hasil ciptaan manusia yang mengandung nilai keindahan yang tinggi karena semua bentuk dari
karya sastra dibuat berdasarkan dengan hati dan pemikiran yang jernih atau
dengan kata lain karya sastra adalah cerminan dari hati seseorang dalam hal
ini pengarang. Memaknai suatu karya sastra memerlukan banyak pertimbangan dalam menentukan maksud dan tujuan
dari karya sastra ini dengan kata lain bahwa suatu karya sastra adalah dunia kemungkinan,
jadi jika pembaca berhadapan dengan sebuah karya sastra, maka pembaca akan dihadapkan
dengan banyak kemungkinan atas suatu penafsiran.
Karya sastra sebagai cermin masyarakat pada suatu zaman
bisa juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur
imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja, sebab tidak mungkin seorang
pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang melandasinya. Karya
sastra juga bisa menjadi media untuk menyampaikan gagasan atau ide-ide penulis.
Max Adereth dalam salah satu karangannya membicarakan litterature engage
(sastra yang terlibat) yang menampilkan gagasan tentang keterlibatan sastra dan
sastrawan dalam politik dan ideologi (Sapardi, 2002:15).
Secara
utuh karya sastra terbagi atas tiga macam, yakni
puisi, prosa dan drama. Ketiga jenis karya sastra tersebut memiliki bentuk
yang berbeda-beda, namun ketiganya juga memiliki kesamaan yang tidak bisa
terpisahkan, yakni sama-sama memiliki makna yang terpendam jauh didalam, sehingga tidak tampak jelas jika
kita melihatnya secara kasat mata, kasat mata yangdimaksud adalah cara memaknai
sebuah karya sastra tanpa mengacu pada sebuah pendekatan atau teori-teori sastra.
Salah satu pendekatan yang menajadi kajian dalam
makalah ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan
cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak
diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan
masyarakat (Suwardi, 2008:77). Pendapat tersebut memberikan makna bahwa
sosiologi sastra merupakan “cermin” yang menggambarkan kehidupan sosial
masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menekankan kajiannya tentang hubungan
pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra.
Oleh karena itu, untuk memaknai sebuah karya
sastra tentunya harus digunakan dan mengacu pada sebuah pendekatan,
ibaratnya jika ingin memotong sesuatu tentunya kita harus menggunakan alat pemotong bukan alat
transportasi. Kajian ini, akan mencoba menganalisis sebuah novel “Matahari di Atas Gili”
karya Lintang Sugianto. Novel ini serat dengan pendeskripsian kehidupan sosial
para tokohnya. Hal ini sangat terlihat dari pandangan pengarang dalam novel
tersebut yang mengisahkan kegigihan dan kesabaran dalam merubah kondisi sosial
pulau Gili yang jauh dari pendidikan.
Fenomena
sosia-budaya dalam novel tersebut, memberikan inspirasi bagi penulis untuk
mengakaji secara lebih intensi. Untuk itu, penulis akan mengkaji novel
“Matahari Diatas Gili” karya Lintang Sugianto dengan pendekatan Sosiologi
Sastra.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari
Diatas Gili” ?
2. Bagaimana Latar belakang sosial budaya yang terdapat
dalam novel “Matahari Diatas Gili” ?
3. Bagaimana Pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam
novel “Matahari Diatas Gili”?
4. Bagaimana bentuk nilai pendidikan dalam novel “Matahari
Diatas Gili” ?
C.
Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan:
1. Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari Diata
Gili.”
2. Latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel
“Matahari Diatas Gili.”
3. Pandangan
pengarang terhadap tokoh wanita dalam nobel “Matahari Diatas Gili.”
4. Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel “Matahari
Diatas Gili.”
D.
Manfaat Kajian
Kajian ini,
diharapkan bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, kajian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan, khususnya yang teori dan pendekatan dalam kajian
sastra.
2. Manfaat Praktis
Kajian ini daharapkan dapat bermanfaat bagi:
a)
Bagi peneliti,
kajian ini dapat memperkaya pengetahuan dalam menganalisis karya sastra,
sehingga dapat mengimplementasikannya dalam dunia pendidikan.
b)
Bagi siswa dan
mahasiswa, kajian ini dapat menjadi refrensi dalam mengkaji karya sastra baik
novel, cerpen, puisi, dll.
c)
Bagi guru/dosen:
kajian dapat menjadi refrensi dalam memberkan pembelajaran di sekolah.
d)
Bagi pencinta dan
pembaca karya sastra, kajian ini dapat menjadi refrensi dalam memberikan
penilaian terhadap karya sastra.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Sosiologi Sastra
1.
Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra
adalah suatu tealaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakatdan
tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana
masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial
dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar
Semi: 52).
Pandanga Atar Sami
mendeskripsikan kajian sosiologi sastra tidak jauh beda dengan unsur-unsur
ekstrinsik karya sastra. Sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya
sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas
sosial (Retno, 2009:164). Lebih jauh
Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) memberikan defiinisi bahwa
sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan
dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan berbagai percobaan pada
teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan
dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Generalisasi dari
berbagai pendapat tentang sosiologi sastra di atas, sosiologi sastra merupakann
telaah terhadap suatu karya sastra dalam kaitannya dengan pengaruh
sosial-budaya yang ikut mempengaruhi cerita dalam karya sastra.
Telaah sosiologis
itu mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53) yaitu:
1.
Sosiologi
pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik,
dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
2.
Sosiologi karya
sastra: yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut dan apa
tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
3.
Sosiologi sastra:
yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap
masyarakat
Pada prinsipnya,
menurut Lauren dan Swingewood
(Endraswara, 2004:79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi
sastra yaitu; (1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial
yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut
diciptakan, (2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial
penulisnya, (3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa
sejarah dan keadaan sosial budaya.
2.
Objek Kajian Sosiologi Sastra
Objek kajian sosiologi sastra diantara :
a.
Konteks Sosial Pengarang
Konteks
sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya.
Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1)
Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia
menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau
bekerja rangkap.
2)
Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3)
Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini,
kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali
didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya
sastra mereka (Damono, 2002: 3-4).
b.
Sastra Sebagai Cermin
Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap
sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat
menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan
disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian
adalah.
1)
Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya
sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2)
Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
3) Sastra yang berusaha menampilkan
keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya
atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra
yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat
secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui
keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila
sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 2002: 4).
c.
Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait
dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai
sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1)
Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya
dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan
bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2)
Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas
sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni
misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi
best seller.
3)
Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus
mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 2002: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka
terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini
berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang
bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi
karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a)
bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang
menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh
pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti
dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang
mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre
sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga,
fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian
(a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b)
sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah
mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 2002).
Secara epitesmologis dapat dikatakan
tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang
meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan
berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya
Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan
sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan
sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam
karyanya.
3.
Karya Sastra dalam Perspektif Sosiologi Sastra
Sebagai pendekatan
yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan
strukuralisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami
dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra
dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk
masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah anggota
masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas
dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam karya
sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam
masyarakat.
Demikian juga,
pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat,
dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, poltik, dan psikologi
yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang
dibacanya.
Bertolak dari hal
tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain
dapat dipandang sebagai produk
masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali (representasi) realitas dalam
masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen dari realitas sosial budaya,
maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa tertentu. Di samping
itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai ataupun
ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Bahkan, sastra juga sangat mungkin
menjadi alat melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan
nilai-nilai yang humanis. Uraian berbagai macam varian sosiologi sastra pada
bab berikutnya, akan menjelaskan berbagai macam perspektif sosiologi sastra
dalam memandang keberadaan karya sastra.
Sosiologi sastra
dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama,
perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi
kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu
peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life
history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif
reseptif, yaitu penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks
sastra (Endraswara, 2004:81).
Ian Watt (Damono,
2002:5) merumuskan pendekatan sosiologi sastra melalui tiga cara:
1.
Konteks pengarang.
Ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca.
2.
Sastra sebagai
cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan
keadaan masyarakat.
3.
Fungsi sosial
sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan
nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula nilai sastra dipengaruhi oleh nilai
sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat
penghibur dan sekaligus pendidikan bagi masyarakat pembaca.
B.
Hakikat Nilai Pendidikan
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengadalian diri, kepribadian,
kederdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan ini merupakan sebuah nilai yang memberikan sumbangsih
terhadap semua elemen masyarakat.
Nilai pendidikan
sangat urgen dalam segala hal, termasuk juga dalam karya sastra. Karya sastra
yang baik adalah karya sastra yang memiliki nilai, termasuk didalamnya nilai
pendidikan (edukatif). Menurut Ahmadi
dan Uhbiyati (1991:69) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Begitu juga halnya
Mudjito Sutrisno (1997:63) menyatakan bahwa nilai-nailai dari sebuah karya
sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai siapa manusia,
kebaradaan di dunia dan di dalam masyarakat; apa itu kebudayaan dan proses
pendidikannya; semua ini dipigurkan dalam refleksi konkret fenomena berdasarkan
fenomena eksitensi manusia dan refleksi sebagai rintangan berekstensi.
Herman J. Waluyo
(1990:27) menyatakan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna
karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi
sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultur, nilai kesusilaan,
dan nilai agama. Semua nilai tersebut bersifat mendidik serta berpengaruh
positif terhadap penikmatnya.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan dalam karya
sastra merupakan nilai yang ditamkan melalui usaha sadar yang dituangkan dalam
karya tersebut, agar para pembaca/penikmat karya sastra dapat mengambil manfaat
untuk kemaslahatan kehidupannya.
Nilai-nilai
pendidikan yang dapat ditemukan dalam novel dapat dipetik melalui
peristiwa-peristiwa yang ada. Pendeskripsian peristiwa tersebut melalui
karakter tokoh, hubungan atar tokoh, dan latar belakang pengarang yang
dituangkan lewat para tokoh tersebut. Nilai-nilai yang terkandung baik nilai
positif maupun nilai negatif dapat diketahui setelah memahaminya, sehigga dapat
menambah wawasan dan kekayaan batin penikmat sastra tersebut.
C.
Sinopsis Novel “Matahari
Diatas Gili”
Kisah
seorang gadis bernama Suhada yang terlahir dari latar belakang anak yang
tidak tahu asal-usul orang tuanya,. Dia adalah gadis yang didik oleh seorang
perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah sakit. Suhada dididik dengan
penuh kasih sayang dan semangat untuk menjadi wanita yang mandiri dan cerdas.
Hingga pada akhirnya ia menjadi lulusan terbaik di SMA tempat ia mengenyam
pendidikan
Seusai lulus SMA Suhada menikah dengan Suamar seorang pemuda dari
Pulau Gilli. Suhada kemudian mengikut suaminya ke Gilli dan tinggal di situ. Di Gilli, Suhada melihat anak-anak yang masih
tertinggal dengan pendidikan. Anak-anak itu belum mengenal pendidikan,
khususnya membaca, dan menulis. Melihat kondisi anak-anak tersebut, Suhada berusaha memberikan
pendidikan kepada anak-anak di pulau itu dengan penuh kesunggahan. Suhada
mendidika anak-anak tersebut mengalami berbagai macam tantangan dan rintangan. Namun setelah berusaha akhirnya
Suhada berjaya meyakinkan penduduk Pulau Gilli berkenaan kepentingan ilmu.
Kehadiran Suhada dipulau Gili
tersebut sangat bermanfaat. Ia mampu mengubah dan memberikan pemahaman kepada
penduduk pulau tersebut tentang kebermanfaatan ilmu. Selain itu, ia selalu
membeikan contoh yang terbaik dalam segala hal, terutama kesetiaan terhadap
suaminya dan kesungguhan dalam mendidik anak-anak di pulau tersebut
Di tengah-tengah keberhasilan
mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan sekolah di pulau tersebut, berbagai
tantagan rumah tangga yang harus ia hadapi. Suammar yang merupakan suami
sekaligus motivator dalam menjalani berbagai kegiatannya, justru
meninggalkannya untuk bekerja membuat kapal diluar pulau Gili.
Akhir kisah dalam novel ini,
Suhada meninggal di saat ia melahirkan anak pertamanya tanpa didampingi
Suammar. Setelah Suammar pulang mengerjakan tugasnya, ia tidak yakin jika istri
yang ia sayangi tersebut sudah tiada lagi disampingya. Ia selalu menganggap bahwa
istrinya tersebut belum meninggal. Pada akhirnya pun Suammar meninggal untuk
selamanya.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari Diata
Gili.”
Suatu karya sastra, khususnya novel selalu memiliki
relasi dengan pengarangnya. Berbagai aspek yang sangat berpangaruh dari
pengarang dalam menuangkan ide, gagasan kreatifnya dalam karya sastra. Aspek
sosial-budaya pengarang merupakan aspek yang paling berperan dalam
medeskripsikan cerita dalam sebuah novel.
Seperti halnya dalam novel “Matahari Diatas Gili” karya
Lintang Sugianto. Lintang sangat lihai dan cermat dalam mengisahkan para tokoh
dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan tentang sejarah salah satu pulau
Gili yang terletak di kawasan Probolinggo Jawa Timur. Sebagai seorang pengarang
perempuan yang memilki kreatifitas tinggi, Ia menampilkan seorang tokoh wanita
yang cerdas dan memiliki semangat tinggi dalam memberikan manfaat yang terbaik
dalam masyarakatnya.
Pulau Gili yang digambarkan dalam novel ini merupakan
simbol kehidupan tradisional yang jauh akan pengaruh modern dalam segala hal.
Hal ini terlihat dari perjalanan cerita dalam novel tersebut,
Berada
di Gili seperti berdiri di samping matahari. Panas dan kering. Hujan pun jarang
datang. Dataran gili memiliki unsur tanah yang tak luas dan hanya melingkar di
titik sentral pulau (Litang, 2009:1).
..............
Melihat
peta, seketika Pulau Gili menjadi lenyap dari pandangan. Ia hanya sebuah titik
kecil yang dikerumuni pulau-pulau, di sebelah barat kota Probolinggo (Lintang,
2009:1)
Novel ini menceritakan sebuah sejarah pulau Gili yang
memiliki keindahan dan di pulau inilah terjadi sebuah kisah tentang perjuangan
seorang suami istri dalam merubah pradigma masyarakat gili.
Sebuah
legenda bercerita, bahwa Gili yang memiliki dua ujung pulau –Ujung Dhaja dan
Ujung Dhelaok-...........(Lintang, 2009:1)
Lintang memaparkan betapa indahnya pulau Gili yang
menawarkan keindahan alam yang sangat alami.
Air
laut Dhaja sangat jernih terkadang perak oleh phospor. Berdiam diri ditepinya,
angin menyusupkan bau yodium laut yang khas. Wisatawan sering datang menyelam
untuk menyaksikan taman laut di Dhaja (Lintang, 2009:5)
Pada awal cerita, lewat Suhada kecil, Lintang seperti membawa gugatan kanak-kanak pada umumnya. Gugatan tentang peranan orang-orang yang lebih tua -yang tanpa sadar- telah mengambil porsi terlalu besar atas milik kanak-kanak itu sendiri. Gugatan akan cinta yang terkesan rumit, di saat –sesungguhnya- amat sederhana. Juga penceritaan tentang kisa hwayang “Karna”, yang seakan mengajak saya untuk memahami kerinduan Lintang akan makna kelahiran, pengasuhan, keberanian dan kepasrahan, keputusan, kepergian,
dan kematian.
Pertanyaan sekaligus jawaban para pengarung kehidupan. Makna yang terkandung sebagai zatinti yang ditawarkan novel ini.
Seolah ia yakin, diatas gunung itulah, ia akan mendapat jawaban tentang arti hidup seekor cacing. Ia menangis
seharian, dan tak mau menyentuh makanannya (Lintang, 2009:24).
Pandangan dunia
pengarang dalam novel ini seakan mengkolaborasikan antara kehidupan masyarakat
gili yang masih terisolir (tradisional), namun dibalik semua itu memberikan
sebuah makna akan makna kehidupan, kemandirian, dan kesungguhan dalam menjalani
segala aktifitas.
B.
Latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel
“Matahari Diatas Gili.”
Sebuah karya sastra yang memiliki karakteristik fiktif
tidak lepas dari hiasan sosial budaya masyarakat. Para ahli sosiologi sastra
memandang hanya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Latar belakang yang
ditampilkan dapat berupa pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat
kebiasaan, cara memandang sesuatu (perspektif kehidupan), agama dan sebagainya.
Latar belakang sosial budaya dalam novel “Matahari Diatas Gili” merupakan sebuah
kehidupan tradisional yang sangat asing dari pengaruh modernisasi. Kehidupan
tradisonal ini terlihat dari beberapa aspek latar belakang yang menghidupkan
cerita dalam novel ini.
1.
Pendidikan
Suasana pulau Gili memang
menawarkan keindahan alam yang sangat menantang. Namun, keindahan tersebut
tidak didukung dengan kemajuan masyarakat pulau tersebut. Kemajuan ini akan
melahirkan berbagai keuntungan terutama dalam meningkatkan kualitas SDM masyarakatnya.
Ketertinggalan masyarakat pulau Gili dideskripsikan oleh Lintang lewat
tokoh-tokoh ceritanya. Ia menampilkan bahwa masyarakat Gili terutama anak-anak
belum bisa membaca dan menulis bahkan mereka dipaksa oleh orang tuanya untuk
bekerja sebagai nelayan.
..........
Sebuah arti kedekatan yang bukan saja karena kebersamaan
mereka, yang tersusun di seriap pagi. Tetapi karena kegusarannya menyaksikan
anak-anak berkalung emas itu, yang satupun tak dapat membaca dan menulis
(Lintang, 2009:69)
........
Di Gili anak lelaki berusia sepuluh tahun, harus pergi
berlayar. Mereka membantu orang tua mereka mencari ikan, selama berhari-hari
diatas kapal dan ditengah lautan (Lintang, 2009:70)
Melihat kondisi anak-anak di pulau Gili lintang akhirnay
tersentuh untuk mendidik anak-anak tersebut. Hal ini terlihat dikala lintang
mulai mengajak anak-anak itu untuk belajar bersama di pinggir pantai.
Esok paginya, Suhada datang lebih awal menemui mereka.
Diam-diam, ia telah siap untuk memulai sebuah pola yang ia susun sendiri.
Dengan sebuah ranting kayu, ia menuliskan beberapa huruf di atas pasir. Lalu ia
membaca sendiri huruf-huruf itu, dengan suara keras dan lantang. Anak-anak diam
terpaku. Pandangan mereka bergantian menatap gerakan mulut Suhada dan
huruf-huruf yang tertulis besar-besar di atas pasir. Seolah mereka sedang
berpikir, gambaran bulatan berekor atau berbentuk geometris itu, ternyata dapat
menyatakan sesuatu dan bisa di artikan bila di baca (Lintang, 2009:71)
Disisi lain, Suhada mencoba memahami masyarakat pulaunya
untuk bisa memberikan sebuah perubahan terutama dalam membentuk pendidikan
untuk anak-anak mereka.
........
Satu hal yang membuat dirinya selalu merasa merana,
setiap melihat kondisi masyarakt yang buta hurup, dan tidak bisa berbahasa
Indonesia. “Berada dimanakah Giliku ini?” tanyanya setiap waktu, ketika ia
harus menerima kenyataan-kenyataan, Gili tak tersentuh oleh pemerataan hak
memperoleh pendidikan, yang digembar-gemborkan saat ini (Lintang, 2009:84)
2.
Pekerjaan
Rentetan cerita dalam novel ini diuraikan dengan begitu
cermat oleh Lintang. Bebagai karakter, pekerjaan, dan kondisi masyarakat di
pulau tersebut diceritakan dengan jelas tanpa menghilangkan ketradisionalan
pulau tersebut. Hal ini terlihat pada pekerjaan rutinitas masyarakat pulau Gili.
Dipulau ini, setiap saat generasi baru dilahirkan di
dalam atmosfer yang sentimental. Semua orang di wilayah ini memiliki kehangatan
yang khas. Lelaki Gili pergi berlayar pada pagi hari, dan perempuan Gili
menyambut kedatangan mereka saat hari menjelang sore. Orang gili mempunyai daya
tahan yang aneh dalam menjalani hidup....(Lintang, 2009:65).
Kutipan di atas memaparkan bahwa pekerjaan rutinitas
masyarakat pulau Gili adalah sebagai nelayan. Antara lelaki dan perempuan gili
selalu selangkah dalam menjalani pekerjaannya, lelaki gili pergi mencari ikan
ditengah lautan yang dangkal, sedangkan perempuan Gili menyambut kedatangan
para lelaki tersebut,
3.
Bahasa
Pulau Gili merupakan pulau yang jauh dari pengaruh
modern. Masyarakatnya masih taat dan patuh akan norma-norma yang ia bentuk
bersama. Akibatnya ia tidak tahu dan tidak bisa berkomunikasi dengan berbagai
bahasa di dunia, khususnya bahasa Indonesia. Ketertinggalan menguasi bahasa
Inodensia tercermin di saat Suhada menjadi anggota masyarakat baru di pulau
Gili.
..........
Mereka berbicara dengan bahasa pulau mereka yang
menakjubkan. Berkali-kali Suhada mengajak mereka berbicara tetapi sia-sia.
Mereka tak mengenal bahasa Indonesia....(Lintang, 2009:67)
Selain itu bahasa di pulau Gili terlihat dikala suhada
mulai mengajak anak-anak itu untuk bersekolah dan mengajarkannya di pinggir
pantai.
“Mukah kalian belajar di sekolah?” (pertanyaan Suhada)
“Bunten! Kaula Sadaja ta’ poron!” – (“Tidak! Kami tidak
mau!”)
...........
“Kita mandi bersama-sama lagi, ya!”
“kaula sadaja adante’ panjennengngan, Hada”- (Kita
menunggu kamu, Hada”)
(Lintang,
2009:71)
4.
Adat kebiasaan
Masyarakat gili memiliki
tradisi yang mencerminkan tradisi tradisional. Ia masih percaya mistis dan
sering merayakan ritual adat. Ritual itu memiliki makna yang sangat urgen
terutama dalam mencapai kebahagiaan dan kesuksesan menjalani hidup. Hal ini
terlihat pada kebiasaannya yang dideskripsikan dalam novel ini.
Mereka melakukan upacara-upacara mistis keagamaan, yang
bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan. Tetapi mereka juga berkeyakinan bahwa
utnuk dapat bertemu dengan Tuhan, mereka harus sedapat-dapatnya menjauhi:
ketamakan, nafsu, syahwad, kemarahan kerakusan, iri hati dan kemalasan
(Lintang, 2009: 64).
Kebiasaan orang gili juga terlihat
dikala meramalkan hari dan juga meramalkan bebagai bahasa ombak yang selalu ia
percaya untuk keselamatan nelayan sebelum berlayar.
Lelaki berjanggut putih meramal hari esok dengan membaca
gerakan ombak , cahaya bulan, desir angin, atau dengan menangkap arah debu
pasir yang beterbangan. (Lintang, 2009:65)
Selain itu, kebiasaan yang sering dilakukan oleh
perempuan gili untuk meminta keselamatan,terutama di saat Gili sedanng
mengalami perang Carok. Para lelaki Gili pergi berperang, segangkan perempuan
Gili melakukan tradisi kusus untuk keselamatan suami mereka.
Di sebuah pagi yang dingin, perempuan-perempuan Gili
menyambut matahari dengan meletakkan puluhan Ancak’-sebuah nyiru berisi sesaji-
di atas rakit yang terbuat dari bambu. Kemudian sambil bernyanyi, mereka
mendorong rakit ke tengah samudera. Suara mereka terdengar pilu, memohon kepada
Tuhan agar memberikan keselamatan seutuhnya kepada suami mereka yang akan
berangkat ke Pulau Kosong untuk perang Carok, nanti malam (Lintang, 2009:115).
5.
Agama
Masyarakat Gili mayoritas beragama Islam, hal ini
terlihat dari para tokohnya yang selalu mengucapkan dan menyebut nama Allah
dalam setiap rutinitasnya. Begitu juga saat para wanita Gili ditinggal oleh
lelaki gili untuk berperang ke tanah kosong. Saat itu Umi mengajak Suhada untuk
tidur bersamanya.
“Mari bersamaku, nak..,” ajak Umi, sambil menarik lengan
Suhada ke dalam kamar. Mereka duduk di tepi ranjang. Lalu Ummi membenamkan
kepala Suhada ke dadanya. Dalam dekapan Umi, ia mendengar jelas suara detak
jantung, suara kalimat-kalimat asing dari mulut Buk No di ruang depan, dan
suara Umi yang menyebut nama Allah berkali-kali (Lintang, 2009: 119).
Aspek agama yang ditampilkan dalam novel tersebut,
mimiliki ciri khusus. Walaupun mayoritas beragama islam, mereka masih saja
berpegang dan membepercayai mitos serta melakukan acara-acara ritual sesajai
yang dalam agama Islam sangat di larang. Pendeskripsian agama yang dianut oleh
para tokoh dalam novel tersebut mencerminkan akulturaasi agama dan kebudayaan
yang melahirkan orang yang taat kepada agamanya dan taat pula pada kebudayaan
yang sudah diwarisi oleh nenek moyang mereka.
C.
Pandangan
pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel “Matahari Diatas Gili.”
Lintang Sugianto menampilkan Suhada sebagai tokoh utama
dalam novelnya. Suhada adalah sosok wanita tegar, rajin, cerdas, pintar dan
mampu menjadi wanita yang mandiri.
Pada sebuah siang, Suhada berjalan membungkuk menuruni
bukit-bukit rendah. Punggungnya melengkung terbebani beberapa ikat kayu bakar
yang ia kumpulkan di lereng bukit pinus (Lintang, 2009:28).
.....Sebuah waktu yang selalu mencatatnya sebagai gadis
kecil pemberani dalam menghadapi hidup. Ia hanya ingin menjadi seperti kalimat
dalam surat-surat Mamak yang penuh dengan doa. Mamak menginginkan agar ia tetap
sekolah, dan tumbuh menjadi gadis yang taat. Maka ia pun taat kepada hidup,
juga kepada cakrawala yang luas. Ia telah menjadi gadis tanggung yang pendiam,
namun penuh api. Ia terlihat lebih sering menggigit bibir dan menahan rasa
nyeri dalam dadanya, untuk dapat mengalahkan dirinya sendiri. (Lintang,
2009:37)
Lewat Suhada, Lintang menmberikan pandangang bahwa wanita
harus mampu menghadapi segala macam tantangan. Hal ini terlihat ketika Suhada
pergi meninggalkan Mamaknya untuk diasuh dan disekolahkan oleh sepasang suami
istri ke Bogor. Walaupun cita-cita Mamaknya sudah tercapai untuk menyekolahkan
Suhada dan menjadi orang yang mampu mengembangkan kreatifitasnya. Suhada yang
kini hidup ditengah-tengah Kota besar dan fasilitas yang lengkap, Ia tetap
ingat bagaimana kisah dan kebiasaanya disaat-saat ia bersama Mamaknya.
Ia menjalankan rutinitas seperti halnya sedang berada di
desa Baros. Ia selalu membersihkan rumah yang begitu besar sepulang sekolahnya.
Sepulang sekolah ia harus menyapu halaman besar,
mengumpulkan daun-daun kering pohon pelamboyan, dan randu (Lintang, 2009:26).
Ketegaran dan kemandirian Suhada sudah tertanam sejak
lahir hingga ia menukah dan melahirkan anak. Walaupun ia hidup ditengah-tengah
kehidupan tradisional setelah ia menikah, Suhada selalu memegang prinsipnya,
hingga ia dapat mewujudkan segala keinginan dan cita-cita yang selalu ia
harapkan untuk membangun pulau Gili.
D.
Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel “Matahari
Diatas Gili.”
Setiap karya sastra tidak lepas dari hiasan nilai yang
menjadi pesan tersirat dan tersurat. Begitu juga halnya dalam novel “Matahari
Diatas Gili”, Lintang dalam novel itu, telah menanamkan dalam rentetetan
ceritanya yang sarat degan nilai-nilai pendidikan. Nilai pendidikan itu dapat
dilihat dari berbagai aspek, baik nilai pendidikan agama, nilai pendidikan
moral, nilai pendidikan adat istiadat/budaya, dan nilai pendidikan sosial.
Lintang mendeskripsikan dari masing-masing tokoh
nilai-nilai pendidikan tersebut secara seksama. Suhada sebagai tokoh utama
telah mencerminkan bahwa betapa pentingnya agama sebagai pegangan hidup dalam
menjalani aktifitas didunia. Ia dangat mengharapkan bisa menikmati sekolah di
sekolah yang bernuansa Isalami. Ketika ia tinggal di Cerebon di keluarga Elang,
Ia sangat dipahami keinginan oleh keluarga tersebut. Elang dengan inisiatif
sendiri, memasukkan Suhada ke sekolah Islam yang terbaik di kota Cirebon.
Ia membuka map itu dengan ragu-ragu, dan membacanya.
Seketika matanya terasa hangat, dan ia merasa mengalami sebuah peristiwa yang
membuat dirinya melambung, saat ia tahu bahwa Elang telah memasukkan dirinya ke
SMA Islam Darussalam – sebuah sekolah terbaik di kota itu. Dan saat ia mencium
panggung tangan lelaki sederhana itu, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri
bahwa tangan yang basah oleh air matanya itu ialah tangan manusia, dan bukan
tangan malaikat. (Lintang, 2009: 40)
Nilai pendidikan Islam yang menghiasi alur cerita novel
tersebut, memiliki relasi dengan nilai yang lain. Lintang mendeskripsikan
nilai-nilai pendidikan dengan cermat dan sarat makna. Ia juga menanamkan nilai
pendidikan lewat nilai pedidikan moral. Hal ini terlihat ketika pak Lurah yang
dikenal sebagai orang yang arif memberikan solusi dan betanggung jawab atas
amanat yang dipimpinnya sebagai seorang Lurah.
“Baiklah. Saya sebagai Lurah Pulau Gili minta maaf kepada
kalian semua. Tapi, tolong diingat, benarkah saya tidak pernah mengajak kalian
berbicara dan duduk bersama membahasa tentang pendidikan anak-anak kita?
Membahas tentang sekolah? Membahas tentang pemberantasan buta huruf? Benarkan?
Jawab!” (Lintang, 2009: 123).
Seketika itu masyarakt gili tak satupun yang bisa
menjawab. Ia kemudian bertanya kembali disaat perjuangan Suhada dan Pak Karta
berjuang untuk membangun pendidikan, masyarakt gili membantah untuk membangun
sekolah di pulau tersebut. Hal ini menanamkan betapa tingginya moral seorang
Lurah dan guru yaitu Suhada dan Do’a dalam membangun karakter dan keperibadian
masyarkat.
“Baiklah! Jika kalian tetap bungkam, berarti diantara
kalian tidak ada yang bisa menggantikan Pak Karta dan Suhada. Maka saya akan
tetap menjalankan program belajar itu.” (Lintang, 2009: 154).
..........................
Di Gilli, tidak terdapat arti kata seorang pejabat yang
menggandeng kehormatan. Tidak ada. Seorang
Lurah di Gilli, hanya petugas sukarela – atas titah leluhur – yang mengemban
tugas kemanusiaan, sanggup menampung pendapat rakyat, bisa seperti pohon
rindang, dan bisa tahu isi hati rakyat. Orang-orang Gilli patut menghormati
Lurah atas nama leluhur mereka. Sebuah penghormatan yang tak mengaitkan simbol
atau lambang-lambang, dan bukan hubungan kedudukan antara siapa dibawah atau
siapa diatas. Mereka pun terbiasa memanggil Pak Lurah dengan “Lurah” saja,
tenpa “Pak” atau apapun di depannya. (Lintang, 2009: 154)
Selain itu,
Lintang menanmkan nilai-nilai pendidikan dalam aspek sosial budaya masyarakat.
Hal ini terlihat dari masyarakat gili yang masih memegang norma-norma adat
istiadat. Mereka belum berpikir modern karena tidak pernah melihat situasi di
luar pulaunya.
“Masyarakat disini cara berpikirnya tidak seperti kita
Hada. Mereka tidak pernah meninggalkan Pulau ini, dan tidak tidak tahu
perkembangan di luar sana. Sehingga mereka tidak memiliki wawasan yang luas
tentang pendidikan yang kau anjurkan itu. Jadi, kalau kau langsung datang
dengan tujuanmu, sebaik apapun tujuanmu itu, mereka tidak akan pernah
menanggapinya. Walaupun mereka tertinggal dan bodoh. Mereka tidak bersedia
digurui. Apalagi oleh orang yang bukan berasal dari Gilli. Itu tidak mungkin,
Hada! Saranku, kau harus bisa mengambil hati mereka. Kau harus bisa mendekati
mereka dengan total. Kalau mereka sudah merasa dekat denganmu, mereka akan
percaya dengan semua yang kau katakan. Kau mengerti Hada? (Lintang, 2009: 160)
BAB IV
PENUTUP
A.
Simpulan
Berbagai temuan
yang penulis dapat kaji dari novel ini, memberikan pemahaman tentunya dalam
menganalisis karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra. Hal ini terlihat
dari rumusan masalah yang dapat penulis temukan. Dari hasil pembahasan penulis
dapat menemukan berbagai aspek yang menjadi kajian dalam pendekatan sosiologi
sastra, diantaranya:
1.
Pandangan dunia
pengarang dalam novel “Matahari Diatas Gili” karya Lintang Sugianto bahwa hidup
itu butuh kemandirian, kesungguhan dalam berbagai aspek kehidupan. Ia
mendeskripsikan Pulau Gili yang indah itu mencerminkan ketradisionaln
masyarakatnya. Karakter tradisional itu menyebabkan masyarakatnya sulit itu
menerima sesuatu yang baru, terutama dengan kehadiran Suhada yang membawa
perubahan pradigma masyarakat untuk lebih mengenal dunia pendidikan.
2.
Latar belakang
sosial budaya dalam novel “Matahari Diatas Gili”, yaitu dikisahkan dalam
berbagai aspek, baik itu pendidikan, agama, bahasa adat kebiasaan, maupun
pekerjaan. Dari semua aspek tersebut, memberikan satu makna bahwa kehidupan
sosial dalam novel tersebut sangat patuh pada adat dan mengajarkan keturunannya
untuk menghormata norma-norma yang sudah disepakati dalam aturan adat. Selain
itu kebudayaan yang memiliki karakteristik tradisional menuntuk banyak
tantangan untuk diberikan pencerahan, hingga menjadi kebudyaan yang menghormati
adat dan menerima modernisasi kebudayaan.
3.
Pandangan pengarang
terhadap tokoh wanita yang ditampilakn dalam novel tersebut adalah. Lintang
lewat Suhada dan tokoh wanita yang lainnya seperti Umi dan Buk No,
mendeskripsikan betapa pentingnya menjadi wanita yang patuh dan taat terhadap
suami. Seoran wanita harus memiliki kesamaan visi untuk bisa mewujudkan rumah
tangga yang harmonis. Hal ini tikisahkan lewat tokoh Suhada yang memiliki
kesungguhan, kesabaran, kemandirian, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam
mempertahankan prinsip.
4.
Nilai pendidikan
yang terkandung dalam novel tersebut yaitu sebagina besar menanamkan nilai
moral yang dituntut untuk menghormati dan mengahargai antar sesama.
B.
Saran
Pendekatan Sosiologi Sastra
merupakan salah satu pendekatan dari berbagai pendekatan dalam mengkaji karya
sastra, baik novel, cerpen, puisi, dan lain-lainnya. Untuk itu, novel ini
sangat perlu untuk dikaji secara lebih intensif dengan pendekatan-pendekatan
lain, agar novel ini memiliki makna dan dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaka.
Atar Semi. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Burhan
Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Damono,
Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lintang Sugianto.
2009. Matahari Diatas Gilli”. Jakarta:
Republika
Suwardi Endraswara. 2004. Metodologi Penelitian
Saatra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
________________.
2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Herman J. Waluyo.
2006. Teori Pengkajian Sastra. Surakarta:
UNS Press.