Minggu, 22 Januari 2012

Kajian Sosiologi Sastra Novel "Matahari Diatas Gili"


“KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN
DALAM NOVEL ‘MATAHARI DIATAS GILI’
KARYA LINTANG SUGIANTO

Oleh
MUH. JAELANI AL-PANSORI





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Karya sastra adalah sebuah hasil ciptaan manusia yang mengandung nilai keindahan yang tinggi karena semua bentuk dari karya sastra dibuat berdasarkan dengan hati dan pemikiran yang jernih atau dengan kata lain karya sastra adalah cerminan dari hati seseorang dalam hal ini pengarang. Memaknai suatu karya sastra memerlukan banyak pertimbangan dalam menentukan maksud dan tujuan dari karya sastra ini dengan kata lain bahwa suatu karya sastra adalah dunia kemungkinan, jadi jika pembaca berhadapan dengan sebuah karya sastra, maka pembaca akan dihadapkan dengan banyak kemungkinan atas suatu penafsiran.
Karya sastra sebagai cermin masyarakat pada suatu zaman bisa juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja, sebab tidak mungkin seorang pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang melandasinya. Karya sastra juga bisa menjadi media untuk menyampaikan gagasan atau ide-ide penulis. Max Adereth dalam salah satu karangannya membicarakan litterature engage (sastra yang terlibat) yang menampilkan gagasan tentang keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi (Sapardi, 2002:15).
Secara utuh karya sastra terbagi atas tiga macam, yakni puisi, prosa dan drama. Ketiga jenis karya sastra tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda, namun ketiganya juga memiliki kesamaan yang tidak bisa terpisahkan, yakni sama-sama memiliki makna yang terpendam jauh didalam, sehingga tidak tampak jelas jika kita melihatnya secara kasat mata, kasat mata yangdimaksud adalah cara memaknai sebuah karya sastra tanpa mengacu pada sebuah pendekatan atau teori-teori sastra.
Salah satu pendekatan yang menajadi kajian dalam makalah ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat (Suwardi, 2008:77). Pendapat tersebut memberikan makna bahwa sosiologi sastra merupakan “cermin” yang menggambarkan kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan sosiologi sastra menekankan kajiannya tentang hubungan pengaruh timbal balik antara sosiologi dan sastra.
Oleh karena itu, untuk memaknai sebuah karya sastra tentunya harus digunakan dan mengacu pada sebuah pendekatan, ibaratnya jika ingin memotong sesuatu tentunya kita harus menggunakan alat pemotong bukan alat transportasi. Kajian ini, akan mencoba menganalisis sebuah novel “Matahari di Atas Gili” karya Lintang Sugianto. Novel ini serat dengan pendeskripsian kehidupan sosial para tokohnya. Hal ini sangat terlihat dari pandangan pengarang dalam novel tersebut yang mengisahkan kegigihan dan kesabaran dalam merubah kondisi sosial pulau Gili yang jauh dari pendidikan.
Fenomena sosia-budaya dalam novel tersebut, memberikan inspirasi bagi penulis untuk mengakaji secara lebih intensi. Untuk itu, penulis akan mengkaji novel “Matahari Diatas Gili” karya Lintang Sugianto dengan pendekatan Sosiologi Sastra.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1.      Bagaimana Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari Diatas Gili” ?
2.      Bagaimana Latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel “Matahari Diatas Gili” ?
3.      Bagaimana Pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel “Matahari Diatas Gili”?
4.      Bagaimana bentuk nilai pendidikan dalam novel “Matahari Diatas Gili” ?

C.    Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:
1.      Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari Diata Gili.”
2.      Latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel “Matahari Diatas Gili.”
3.       Pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam nobel “Matahari Diatas Gili.”
4.      Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel “Matahari Diatas Gili.”

D.    Manfaat Kajian
Kajian ini, diharapkan bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis.
1.      Manfaat Teoretis
Secara teoretis, kajian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya yang teori dan pendekatan dalam kajian sastra.
2.      Manfaat Praktis
Kajian ini daharapkan dapat bermanfaat bagi:
a)      Bagi peneliti, kajian ini dapat memperkaya pengetahuan dalam menganalisis karya sastra, sehingga dapat mengimplementasikannya dalam dunia pendidikan. 
b)      Bagi siswa dan mahasiswa, kajian ini dapat menjadi refrensi dalam mengkaji karya sastra baik novel, cerpen, puisi, dll.
c)      Bagi guru/dosen: kajian dapat menjadi refrensi dalam memberkan pembelajaran di sekolah.
d)     Bagi pencinta dan pembaca karya sastra, kajian ini dapat menjadi refrensi dalam memberikan penilaian terhadap karya sastra.



BAB II
 LANDASAN TEORI
A.    Sosiologi Sastra
1.      Hakikat Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah suatu tealaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakatdan tentang sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah-masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi: 52).
Pandanga Atar Sami mendeskripsikan kajian sosiologi sastra tidak jauh beda dengan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra. Sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial (Retno, 2009:164). Lebih jauh  Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) memberikan defiinisi bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Generalisasi dari berbagai pendapat tentang sosiologi sastra di atas, sosiologi sastra merupakann telaah terhadap suatu karya sastra dalam kaitannya dengan pengaruh sosial-budaya yang ikut mempengaruhi cerita dalam karya sastra.
Telaah sosiologis itu mempunyai tiga klasifikasi (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53) yaitu:
1.      Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
2.      Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
3.      Sosiologi sastra: yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat
Pada prinsipnya, menurut  Lauren dan Swingewood (Endraswara, 2004:79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu; (1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, (3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

2.      Objek Kajian Sosiologi Sastra
Objek kajian sosiologi sastra diantara :
a.       Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1)      Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau bekerja rangkap.
2)      Profesionalisme dalam kepengarangan; sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3)      Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 2002: 3-4).
b.       Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat yaitu sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1)      Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis.
2)      Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
3)      Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 2002: 4).

c.       Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?” ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1)      Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi sebagai pembaharu dan perombak.
2)      Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka. Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
3)      Sudut pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara menghibur (Damono, 2002: 4).
Apabila dikaitkan dengan sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencaharian (b) sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai profesi dan (c) mayarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b) sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 2002).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk mebangun suatu sosiologi sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenali masyarakat akan berbeda satu dengan yang lain. Dalam penelitian novel ”Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini maka konsep sosiologi sastra akan menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini akan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

3.      Karya Sastra dalam Perspektif  Sosiologi Sastra
Sebagai pendekatan yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial), maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang otonom, sebagaimana pandangan strukuralisme. Keberadaan karya sastra, dengan demikian selalu harus dipahami dalam hubungannya dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial budaya, sebagai produk masyarakat.  Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah anggota masyarakat. Dalam menciptakan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarkan dalam karya sastra pun sering kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat.
Demikian juga, pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, poltik, dan psikologi yang ikut berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya.
Bertolak dari hal tersebut, maka dalam perspektif sosiologi sastra, karya sastra antara lain dapat dipandang sebagai  produk masyarakat, sebagai sarana menggambarkan kembali (representasi) realitas dalam masyarakat. Sastra juga dapat menjadi dokumen dari realitas sosial budaya, maupun politik yang terjadi dalam masyarakat pada masa tertentu. Di samping itu, sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai ataupun ideologi tertentu pada masyarakat pembaca. Bahkan, sastra juga sangat mungkin menjadi alat melawan kebiadaban atau ketidakadilan dengan mewartakan nilai-nilai yang humanis. Uraian berbagai macam varian sosiologi sastra pada bab berikutnya, akan menjelaskan berbagai macam perspektif sosiologi sastra dalam memandang keberadaan karya sastra.
Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara, 2004:81).
Ian Watt (Damono, 2002:5) merumuskan pendekatan sosiologi sastra melalui tiga cara:
1.      Konteks pengarang. Ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
2.      Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat.
3.      Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus pendidikan bagi masyarakat pembaca.


B.     Hakikat Nilai Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengadalian diri, kepribadian, kederdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan ini merupakan sebuah nilai yang memberikan sumbangsih terhadap semua elemen masyarakat.
Nilai pendidikan sangat urgen dalam segala hal, termasuk juga dalam karya sastra. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memiliki nilai, termasuk didalamnya nilai pendidikan (edukatif). Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (1991:69) bahwa nilai dalam sastra dapat menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Begitu juga halnya Mudjito Sutrisno (1997:63) menyatakan bahwa nilai-nailai dari sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar mengenai siapa manusia, kebaradaan di dunia dan di dalam masyarakat; apa itu kebudayaan dan proses pendidikannya; semua ini dipigurkan dalam refleksi konkret fenomena berdasarkan fenomena eksitensi manusia dan refleksi sebagai rintangan berekstensi.
Herman J. Waluyo (1990:27) menyatakan bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultur, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Semua nilai tersebut bersifat mendidik serta berpengaruh positif terhadap penikmatnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan dalam karya sastra merupakan nilai yang ditamkan melalui usaha sadar yang dituangkan dalam karya tersebut, agar para pembaca/penikmat karya sastra dapat mengambil manfaat untuk kemaslahatan kehidupannya.
Nilai-nilai pendidikan yang dapat ditemukan dalam novel dapat dipetik melalui peristiwa-peristiwa yang ada. Pendeskripsian peristiwa tersebut melalui karakter tokoh, hubungan atar tokoh, dan latar belakang pengarang yang dituangkan lewat para tokoh tersebut. Nilai-nilai yang terkandung baik nilai positif maupun nilai negatif dapat diketahui setelah memahaminya, sehigga dapat menambah wawasan dan kekayaan batin penikmat sastra tersebut.

C.    Sinopsis Novel “Matahari Diatas Gili”
Kisah seorang gadis bernama Suhada yang terlahir dari latar belakang anak yang tidak tahu asal-usul orang tuanya,. Dia adalah gadis yang didik oleh seorang perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah sakit. Suhada dididik dengan penuh kasih sayang dan semangat untuk menjadi wanita yang mandiri dan cerdas. Hingga pada akhirnya ia menjadi lulusan terbaik di SMA tempat ia mengenyam pendidikan
Seusai lulus SMA Suhada menikah dengan Suamar seorang pemuda dari Pulau Gilli. Suhada kemudian mengikut suaminya ke Gilli dan tinggal di situ. Di Gilli, Suhada melihat anak-anak yang masih tertinggal dengan pendidikan. Anak-anak itu belum mengenal pendidikan, khususnya membaca, dan menulis. Melihat kondisi anak-anak tersebut, Suhada berusaha memberikan pendidikan kepada anak-anak di pulau itu dengan penuh kesunggahan. Suhada mendidika anak-anak tersebut mengalami berbagai macam tantangan dan rintangan. Namun setelah berusaha akhirnya Suhada berjaya meyakinkan penduduk Pulau Gilli berkenaan kepentingan ilmu.
Kehadiran Suhada dipulau Gili tersebut sangat bermanfaat. Ia mampu mengubah dan memberikan pemahaman kepada penduduk pulau tersebut tentang kebermanfaatan ilmu. Selain itu, ia selalu membeikan contoh yang terbaik dalam segala hal, terutama kesetiaan terhadap suaminya dan kesungguhan dalam mendidik anak-anak di pulau tersebut
Di tengah-tengah keberhasilan mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan sekolah di pulau tersebut, berbagai tantagan rumah tangga yang harus ia hadapi. Suammar yang merupakan suami sekaligus motivator dalam menjalani berbagai kegiatannya, justru meninggalkannya untuk bekerja membuat kapal diluar pulau Gili.
Akhir kisah dalam novel ini, Suhada meninggal di saat ia melahirkan anak pertamanya tanpa didampingi Suammar. Setelah Suammar pulang mengerjakan tugasnya, ia tidak yakin jika istri yang ia sayangi tersebut sudah tiada lagi disampingya. Ia selalu menganggap bahwa istrinya tersebut belum meninggal. Pada akhirnya pun Suammar meninggal untuk selamanya.






BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari Diata Gili.”
Suatu karya sastra, khususnya novel selalu memiliki relasi dengan pengarangnya. Berbagai aspek yang sangat berpangaruh dari pengarang dalam menuangkan ide, gagasan kreatifnya dalam karya sastra. Aspek sosial-budaya pengarang merupakan aspek yang paling berperan dalam medeskripsikan cerita dalam sebuah novel.
Seperti halnya dalam novel “Matahari Diatas Gili” karya Lintang Sugianto. Lintang sangat lihai dan cermat dalam mengisahkan para tokoh dalam novel tersebut. Novel ini menceritakan tentang sejarah salah satu pulau Gili yang terletak di kawasan Probolinggo Jawa Timur. Sebagai seorang pengarang perempuan yang memilki kreatifitas tinggi, Ia menampilkan seorang tokoh wanita yang cerdas dan memiliki semangat tinggi dalam memberikan manfaat yang terbaik dalam masyarakatnya.
Pulau Gili yang digambarkan dalam novel ini merupakan simbol kehidupan tradisional yang jauh akan pengaruh modern dalam segala hal. Hal ini terlihat dari perjalanan cerita dalam novel tersebut,
Berada di Gili seperti berdiri di samping matahari. Panas dan kering. Hujan pun jarang datang. Dataran gili memiliki unsur tanah yang tak luas dan hanya melingkar di titik sentral pulau (Litang, 2009:1).

..............
Melihat peta, seketika Pulau Gili menjadi lenyap dari pandangan. Ia hanya sebuah titik kecil yang dikerumuni pulau-pulau, di sebelah barat kota Probolinggo (Lintang, 2009:1)

Novel ini menceritakan sebuah sejarah pulau Gili yang memiliki keindahan dan di pulau inilah terjadi sebuah kisah tentang perjuangan seorang suami istri dalam merubah pradigma masyarakat gili.
Sebuah legenda bercerita, bahwa Gili yang memiliki dua ujung pulau –Ujung Dhaja dan Ujung Dhelaok-...........(Lintang, 2009:1)

Lintang memaparkan betapa indahnya pulau Gili yang menawarkan keindahan alam yang sangat alami.
Air laut Dhaja sangat jernih terkadang perak oleh phospor. Berdiam diri ditepinya, angin menyusupkan bau yodium laut yang khas. Wisatawan sering datang menyelam untuk menyaksikan taman laut di Dhaja (Lintang, 2009:5)

Pada awal cerita, lewat Suhada kecil, Lintang seperti membawa gugatan kanak-kanak pada umumnya. Gugatan tentang peranan orang-orang yang lebih tua -yang tanpa sadar- telah mengambil porsi terlalu besar atas milik kanak-kanak itu sendiri. Gugatan akan cinta yang terkesan rumit, di saat –sesungguhnya- amat sederhana. Juga penceritaan tentang kisa hwayang “Karna”, yang seakan mengajak saya untuk memahami kerinduan Lintang akan makna kelahiran, pengasuhan, keberanian dan kepasrahan, keputusan, kepergian, dan kematian. Pertanyaan sekaligus jawaban para pengarung kehidupan. Makna yang terkandung sebagai zatinti yang ditawarkan novel ini.
Seolah ia yakin, diatas gunung itulah, ia akan mendapat jawaban tentang arti hidup seekor cacing. Ia menangis seharian, dan tak mau menyentuh makanannya (Lintang, 2009:24).

Pandangan dunia pengarang dalam novel ini seakan mengkolaborasikan antara kehidupan masyarakat gili yang masih terisolir (tradisional), namun dibalik semua itu memberikan sebuah makna akan makna kehidupan, kemandirian, dan kesungguhan dalam menjalani segala aktifitas.


B.     Latar belakang sosial budaya yang terdapat dalam novel “Matahari Diatas Gili.”
Sebuah karya sastra yang memiliki karakteristik fiktif tidak lepas dari hiasan sosial budaya masyarakat. Para ahli sosiologi sastra memandang hanya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Latar belakang yang ditampilkan dapat berupa pendidikan, pekerjaan, bahasa, tempat tinggal, adat kebiasaan, cara memandang sesuatu (perspektif kehidupan), agama dan sebagainya.
Latar belakang sosial budaya dalam novel “Matahari Diatas Gili” merupakan sebuah kehidupan tradisional yang sangat asing dari pengaruh modernisasi. Kehidupan tradisonal ini terlihat dari beberapa aspek latar belakang yang menghidupkan cerita dalam novel ini.
1.      Pendidikan
Suasana pulau Gili memang menawarkan keindahan alam yang sangat menantang. Namun, keindahan tersebut tidak didukung dengan kemajuan masyarakat pulau tersebut. Kemajuan ini akan melahirkan berbagai keuntungan terutama dalam meningkatkan kualitas SDM masyarakatnya. Ketertinggalan masyarakat pulau Gili dideskripsikan oleh Lintang lewat tokoh-tokoh ceritanya. Ia menampilkan bahwa masyarakat Gili terutama anak-anak belum bisa membaca dan menulis bahkan mereka dipaksa oleh orang tuanya untuk bekerja sebagai nelayan.
..........
Sebuah arti kedekatan yang bukan saja karena kebersamaan mereka, yang tersusun di seriap pagi. Tetapi karena kegusarannya menyaksikan anak-anak berkalung emas itu, yang satupun tak dapat membaca dan menulis (Lintang, 2009:69)

........
Di Gili anak lelaki berusia sepuluh tahun, harus pergi berlayar. Mereka membantu orang tua mereka mencari ikan, selama berhari-hari diatas kapal dan ditengah lautan (Lintang, 2009:70)

Melihat kondisi anak-anak di pulau Gili lintang akhirnay tersentuh untuk mendidik anak-anak tersebut. Hal ini terlihat dikala lintang mulai mengajak anak-anak itu untuk belajar bersama di pinggir pantai.

Esok paginya, Suhada datang lebih awal menemui mereka. Diam-diam, ia telah siap untuk memulai sebuah pola yang ia susun sendiri. Dengan sebuah ranting kayu, ia menuliskan beberapa huruf di atas pasir. Lalu ia membaca sendiri huruf-huruf itu, dengan suara keras dan lantang. Anak-anak diam terpaku. Pandangan mereka bergantian menatap gerakan mulut Suhada dan huruf-huruf yang tertulis besar-besar di atas pasir. Seolah mereka sedang berpikir, gambaran bulatan berekor atau berbentuk geometris itu, ternyata dapat menyatakan sesuatu dan bisa di artikan bila di baca (Lintang, 2009:71)

Disisi lain, Suhada mencoba memahami masyarakat pulaunya untuk bisa memberikan sebuah perubahan terutama dalam membentuk pendidikan untuk anak-anak mereka.
........
Satu hal yang membuat dirinya selalu merasa merana, setiap melihat kondisi masyarakt yang buta hurup, dan tidak bisa berbahasa Indonesia. “Berada dimanakah Giliku ini?” tanyanya setiap waktu, ketika ia harus menerima kenyataan-kenyataan, Gili tak tersentuh oleh pemerataan hak memperoleh pendidikan, yang digembar-gemborkan saat ini (Lintang, 2009:84)

2.      Pekerjaan
Rentetan cerita dalam novel ini diuraikan dengan begitu cermat oleh Lintang. Bebagai karakter, pekerjaan, dan kondisi masyarakat di pulau tersebut diceritakan dengan jelas tanpa menghilangkan ketradisionalan pulau tersebut. Hal ini terlihat pada pekerjaan rutinitas masyarakat pulau Gili.

Dipulau ini, setiap saat generasi baru dilahirkan di dalam atmosfer yang sentimental. Semua orang di wilayah ini memiliki kehangatan yang khas. Lelaki Gili pergi berlayar pada pagi hari, dan perempuan Gili menyambut kedatangan mereka saat hari menjelang sore. Orang gili mempunyai daya tahan yang aneh dalam menjalani hidup....(Lintang, 2009:65).

Kutipan di atas memaparkan bahwa pekerjaan rutinitas masyarakat pulau Gili adalah sebagai nelayan. Antara lelaki dan perempuan gili selalu selangkah dalam menjalani pekerjaannya, lelaki gili pergi mencari ikan ditengah lautan yang dangkal, sedangkan perempuan Gili menyambut kedatangan para lelaki tersebut,
3.      Bahasa
Pulau Gili merupakan pulau yang jauh dari pengaruh modern. Masyarakatnya masih taat dan patuh akan norma-norma yang ia bentuk bersama. Akibatnya ia tidak tahu dan tidak bisa berkomunikasi dengan berbagai bahasa di dunia, khususnya bahasa Indonesia. Ketertinggalan menguasi bahasa Inodensia tercermin di saat Suhada menjadi anggota masyarakat baru di pulau Gili.

..........
Mereka berbicara dengan bahasa pulau mereka yang menakjubkan. Berkali-kali Suhada mengajak mereka berbicara tetapi sia-sia. Mereka tak mengenal bahasa Indonesia....(Lintang, 2009:67)

Selain itu bahasa di pulau Gili terlihat dikala suhada mulai mengajak anak-anak itu untuk bersekolah dan mengajarkannya di pinggir pantai.

“Mukah kalian belajar di sekolah?” (pertanyaan Suhada)
“Bunten! Kaula Sadaja ta’ poron!” – (“Tidak! Kami tidak mau!”)
...........
“Kita mandi bersama-sama lagi, ya!”
“kaula sadaja adante’ panjennengngan, Hada”- (Kita menunggu kamu, Hada”)
(Lintang, 2009:71)

4.      Adat kebiasaan
Masyarakat gili memiliki tradisi yang mencerminkan tradisi tradisional. Ia masih percaya mistis dan sering merayakan ritual adat. Ritual itu memiliki makna yang sangat urgen terutama dalam mencapai kebahagiaan dan kesuksesan menjalani hidup. Hal ini terlihat pada kebiasaannya yang dideskripsikan dalam novel ini.

Mereka melakukan upacara-upacara mistis keagamaan, yang bertujuan mencapai kesatuan dengan Tuhan. Tetapi mereka juga berkeyakinan bahwa utnuk dapat bertemu dengan Tuhan, mereka harus sedapat-dapatnya menjauhi: ketamakan, nafsu, syahwad, kemarahan kerakusan, iri hati dan kemalasan (Lintang, 2009: 64).

Kebiasaan orang gili juga terlihat dikala meramalkan hari dan juga meramalkan bebagai bahasa ombak yang selalu ia percaya untuk keselamatan nelayan sebelum berlayar.

Lelaki berjanggut putih meramal hari esok dengan membaca gerakan ombak , cahaya bulan, desir angin, atau dengan menangkap arah debu pasir yang beterbangan. (Lintang, 2009:65)

Selain itu, kebiasaan yang sering dilakukan oleh perempuan gili untuk meminta keselamatan,terutama di saat Gili sedanng mengalami perang Carok. Para lelaki Gili pergi berperang, segangkan perempuan Gili melakukan tradisi kusus untuk keselamatan suami mereka.

Di sebuah pagi yang dingin, perempuan-perempuan Gili menyambut matahari dengan meletakkan puluhan Ancak’-sebuah nyiru berisi sesaji- di atas rakit yang terbuat dari bambu. Kemudian sambil bernyanyi, mereka mendorong rakit ke tengah samudera. Suara mereka terdengar pilu, memohon kepada Tuhan agar memberikan keselamatan seutuhnya kepada suami mereka yang akan berangkat ke Pulau Kosong untuk perang Carok, nanti malam (Lintang, 2009:115).

5.      Agama
Masyarakat Gili mayoritas beragama Islam, hal ini terlihat dari para tokohnya yang selalu mengucapkan dan menyebut nama Allah dalam setiap rutinitasnya. Begitu juga saat para wanita Gili ditinggal oleh lelaki gili untuk berperang ke tanah kosong. Saat itu Umi mengajak Suhada untuk tidur bersamanya.

“Mari bersamaku, nak..,” ajak Umi, sambil menarik lengan Suhada ke dalam kamar. Mereka duduk di tepi ranjang. Lalu Ummi membenamkan kepala Suhada ke dadanya. Dalam dekapan Umi, ia mendengar jelas suara detak jantung, suara kalimat-kalimat asing dari mulut Buk No di ruang depan, dan suara Umi yang menyebut nama Allah berkali-kali (Lintang, 2009: 119).

Aspek agama yang ditampilkan dalam novel tersebut, mimiliki ciri khusus. Walaupun mayoritas beragama islam, mereka masih saja berpegang dan membepercayai mitos serta melakukan acara-acara ritual sesajai yang dalam agama Islam sangat di larang. Pendeskripsian agama yang dianut oleh para tokoh dalam novel tersebut mencerminkan akulturaasi agama dan kebudayaan yang melahirkan orang yang taat kepada agamanya dan taat pula pada kebudayaan yang sudah diwarisi oleh nenek moyang mereka.


C.     Pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam novel “Matahari Diatas Gili.”
Lintang Sugianto menampilkan Suhada sebagai tokoh utama dalam novelnya. Suhada adalah sosok wanita tegar, rajin, cerdas, pintar dan mampu menjadi wanita yang mandiri.

Pada sebuah siang, Suhada berjalan membungkuk menuruni bukit-bukit rendah. Punggungnya melengkung terbebani beberapa ikat kayu bakar yang ia kumpulkan di lereng bukit pinus (Lintang, 2009:28).

.....Sebuah waktu yang selalu mencatatnya sebagai gadis kecil pemberani dalam menghadapi hidup. Ia hanya ingin menjadi seperti kalimat dalam surat-surat Mamak yang penuh dengan doa. Mamak menginginkan agar ia tetap sekolah, dan tumbuh menjadi gadis yang taat. Maka ia pun taat kepada hidup, juga kepada cakrawala yang luas. Ia telah menjadi gadis tanggung yang pendiam, namun penuh api. Ia terlihat lebih sering menggigit bibir dan menahan rasa nyeri dalam dadanya, untuk dapat mengalahkan dirinya sendiri. (Lintang, 2009:37)

Lewat Suhada, Lintang menmberikan pandangang bahwa wanita harus mampu menghadapi segala macam tantangan. Hal ini terlihat ketika Suhada pergi meninggalkan Mamaknya untuk diasuh dan disekolahkan oleh sepasang suami istri ke Bogor. Walaupun cita-cita Mamaknya sudah tercapai untuk menyekolahkan Suhada dan menjadi orang yang mampu mengembangkan kreatifitasnya. Suhada yang kini hidup ditengah-tengah Kota besar dan fasilitas yang lengkap, Ia tetap ingat bagaimana kisah dan kebiasaanya disaat-saat ia bersama Mamaknya.
Ia menjalankan rutinitas seperti halnya sedang berada di desa Baros. Ia selalu membersihkan rumah yang begitu besar sepulang sekolahnya.
Sepulang sekolah ia harus menyapu halaman besar, mengumpulkan daun-daun kering pohon pelamboyan, dan randu (Lintang, 2009:26).

Ketegaran dan kemandirian Suhada sudah tertanam sejak lahir hingga ia menukah dan melahirkan anak. Walaupun ia hidup ditengah-tengah kehidupan tradisional setelah ia menikah, Suhada selalu memegang prinsipnya, hingga ia dapat mewujudkan segala keinginan dan cita-cita yang selalu ia harapkan untuk membangun pulau Gili.

D.    Nilai pendidikan yang terdapat dalam novel “Matahari Diatas Gili.”
Setiap karya sastra tidak lepas dari hiasan nilai yang menjadi pesan tersirat dan tersurat. Begitu juga halnya dalam novel “Matahari Diatas Gili”, Lintang dalam novel itu, telah menanamkan dalam rentetetan ceritanya yang sarat degan nilai-nilai pendidikan. Nilai pendidikan itu dapat dilihat dari berbagai aspek, baik nilai pendidikan agama, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan adat istiadat/budaya, dan nilai pendidikan sosial.
Lintang mendeskripsikan dari masing-masing tokoh nilai-nilai pendidikan tersebut secara seksama. Suhada sebagai tokoh utama telah mencerminkan bahwa betapa pentingnya agama sebagai pegangan hidup dalam menjalani aktifitas didunia. Ia dangat mengharapkan bisa menikmati sekolah di sekolah yang bernuansa Isalami. Ketika ia tinggal di Cerebon di keluarga Elang, Ia sangat dipahami keinginan oleh keluarga tersebut. Elang dengan inisiatif sendiri, memasukkan Suhada ke sekolah Islam yang terbaik di kota Cirebon.

Ia membuka map itu dengan ragu-ragu, dan membacanya. Seketika matanya terasa hangat, dan ia merasa mengalami sebuah peristiwa yang membuat dirinya melambung, saat ia tahu bahwa Elang telah memasukkan dirinya ke SMA Islam Darussalam – sebuah sekolah terbaik di kota itu. Dan saat ia mencium panggung tangan lelaki sederhana itu, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa tangan yang basah oleh air matanya itu ialah tangan manusia, dan bukan tangan malaikat. (Lintang, 2009: 40)

Nilai pendidikan Islam yang menghiasi alur cerita novel tersebut, memiliki relasi dengan nilai yang lain. Lintang mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dengan cermat dan sarat makna. Ia juga menanamkan nilai pendidikan lewat nilai pedidikan moral. Hal ini terlihat ketika pak Lurah yang dikenal sebagai orang yang arif memberikan solusi dan betanggung jawab atas amanat yang dipimpinnya sebagai seorang Lurah.

“Baiklah. Saya sebagai Lurah Pulau Gili minta maaf kepada kalian semua. Tapi, tolong diingat, benarkah saya tidak pernah mengajak kalian berbicara dan duduk bersama membahasa tentang pendidikan anak-anak kita? Membahas tentang sekolah? Membahas tentang pemberantasan buta huruf? Benarkan? Jawab!” (Lintang, 2009: 123).

Seketika itu masyarakt gili tak satupun yang bisa menjawab. Ia kemudian bertanya kembali disaat perjuangan Suhada dan Pak Karta berjuang untuk membangun pendidikan, masyarakt gili membantah untuk membangun sekolah di pulau tersebut. Hal ini menanamkan betapa tingginya moral seorang Lurah dan guru yaitu Suhada dan Do’a dalam membangun karakter dan keperibadian masyarkat.

“Baiklah! Jika kalian tetap bungkam, berarti diantara kalian tidak ada yang bisa menggantikan Pak Karta dan Suhada. Maka saya akan tetap menjalankan program belajar itu.” (Lintang, 2009: 154).
..........................
Di Gilli, tidak terdapat arti kata seorang pejabat yang menggandeng kehormatan. Tidak ada. Seorang  Lurah di Gilli, hanya petugas sukarela – atas titah leluhur – yang mengemban tugas kemanusiaan, sanggup menampung pendapat rakyat, bisa seperti pohon rindang, dan bisa tahu isi hati rakyat. Orang-orang Gilli patut menghormati Lurah atas nama leluhur mereka. Sebuah penghormatan yang tak mengaitkan simbol atau lambang-lambang, dan bukan hubungan kedudukan antara siapa dibawah atau siapa diatas. Mereka pun terbiasa memanggil Pak Lurah dengan “Lurah” saja, tenpa “Pak” atau apapun di depannya. (Lintang, 2009: 154)

 Selain itu, Lintang menanmkan nilai-nilai pendidikan dalam aspek sosial budaya masyarakat. Hal ini terlihat dari masyarakat gili yang masih memegang norma-norma adat istiadat. Mereka belum berpikir modern karena tidak pernah melihat situasi di luar pulaunya.

“Masyarakat disini cara berpikirnya tidak seperti kita Hada. Mereka tidak pernah meninggalkan Pulau ini, dan tidak tidak tahu perkembangan di luar sana. Sehingga mereka tidak memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan yang kau anjurkan itu. Jadi, kalau kau langsung datang dengan tujuanmu, sebaik apapun tujuanmu itu, mereka tidak akan pernah menanggapinya. Walaupun mereka tertinggal dan bodoh. Mereka tidak bersedia digurui. Apalagi oleh orang yang bukan berasal dari Gilli. Itu tidak mungkin, Hada! Saranku, kau harus bisa mengambil hati mereka. Kau harus bisa mendekati mereka dengan total. Kalau mereka sudah merasa dekat denganmu, mereka akan percaya dengan semua yang kau katakan. Kau mengerti Hada? (Lintang, 2009: 160)




BAB IV
PENUTUP

A.    Simpulan
Berbagai temuan yang penulis dapat kaji dari novel ini, memberikan pemahaman tentunya dalam menganalisis karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra. Hal ini terlihat dari rumusan masalah yang dapat penulis temukan. Dari hasil pembahasan penulis dapat menemukan berbagai aspek yang menjadi kajian dalam pendekatan sosiologi sastra, diantaranya:
1.      Pandangan dunia pengarang dalam novel “Matahari Diatas Gili” karya Lintang Sugianto bahwa hidup itu butuh kemandirian, kesungguhan dalam berbagai aspek kehidupan. Ia mendeskripsikan Pulau Gili yang indah itu mencerminkan ketradisionaln masyarakatnya. Karakter tradisional itu menyebabkan masyarakatnya sulit itu menerima sesuatu yang baru, terutama dengan kehadiran Suhada yang membawa perubahan pradigma masyarakat untuk lebih mengenal dunia pendidikan.
2.      Latar belakang sosial budaya dalam novel “Matahari Diatas Gili”, yaitu dikisahkan dalam berbagai aspek, baik itu pendidikan, agama, bahasa adat kebiasaan, maupun pekerjaan. Dari semua aspek tersebut, memberikan satu makna bahwa kehidupan sosial dalam novel tersebut sangat patuh pada adat dan mengajarkan keturunannya untuk menghormata norma-norma yang sudah disepakati dalam aturan adat. Selain itu kebudayaan yang memiliki karakteristik tradisional menuntuk banyak tantangan untuk diberikan pencerahan, hingga menjadi kebudyaan yang menghormati adat dan menerima modernisasi kebudayaan.
3.      Pandangan pengarang terhadap tokoh wanita yang ditampilakn dalam novel tersebut adalah. Lintang lewat Suhada dan tokoh wanita yang lainnya seperti Umi dan Buk No, mendeskripsikan betapa pentingnya menjadi wanita yang patuh dan taat terhadap suami. Seoran wanita harus memiliki kesamaan visi untuk bisa mewujudkan rumah tangga yang harmonis. Hal ini tikisahkan lewat tokoh Suhada yang memiliki kesungguhan, kesabaran, kemandirian, dan memiliki komitmen yang tinggi dalam mempertahankan prinsip.
4.      Nilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut yaitu sebagina besar menanamkan nilai moral yang dituntut untuk menghormati dan mengahargai antar sesama.

B.     Saran
Pendekatan Sosiologi Sastra merupakan salah satu pendekatan dari berbagai pendekatan dalam mengkaji karya sastra, baik novel, cerpen, puisi, dan lain-lainnya. Untuk itu, novel ini sangat perlu untuk dikaji secara lebih intensif dengan pendekatan-pendekatan lain, agar novel ini memiliki makna dan dapat dimanfaatkan oleh semua kalangan.






DAFTAR PUSTAKA

A. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaka.
Atar Semi. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa
Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lintang Sugianto. 2009. Matahari Diatas Gilli”. Jakarta: Republika
Suwardi Endraswara. 2004. Metodologi Penelitian Saatra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama
________________. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.
Herman J. Waluyo. 2006. Teori Pengkajian Sastra. Surakarta: UNS Press.